Earth

Elegi Esok Pagi

Pak Kiki, begitu dia biasa dipanggil, adalah salah seorang dosen kami yang sudah mengajar selama 27 tahun di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Orangnya sederhana tetapi selalu ceria. Banyak mahasiswa yang senang mengajaknya berdiskusi atau ngobrol ringan di kantin, atau di mana saja. Saya kerap bertemu dengannya di selasar Lobby Gedung Agus Salim dan selalu mendengar sapaannya “Hai.” Terdengar simple, tetapi selalu renyah dan ramah.  

Pak Kiki pernah terkena stroke, dan kemudian serangan jantung 3 tahun berikutnya. Masih tersisa dari caranya menapak, dan juga cara mengajar di kelas, yang kadang-kadang harus menarik napas panjang. Saya sendiri tidak mengerti apakah itu karena sisa penyakitnya, atau karena capek melihat mahasiswa yang terlalu banyak pakai Chat GPT. Gaya mengajar dan tampilannya di kelas, sebenarnya sama seperti dulu, semangat, riang, menyejukkan, dan penuh pembaharuan.

Menurut cerita orang-orang tua, termasuk mama saya yang dulu jadi mahasiswanya, Pak Kiki pernah menjadi Wakil Dekan, sometime 20 tahun yang lalu. Hal yang membuat saya sadar bahwa bapak ini sebenarnya sudah cukup tua. Saya sendiri percaya bahwa dia sudah melewati angka 50 tahun, meskipun setiap ditanya dia selalu reflek menjawab “35 tahun.” Bapak ini selalu bergurau kalau berbicara tentang umur, tetapi ketika berbicara di bidang keahliannya, dia bisa berbicara  jelas dan panjang, crystal clear, 2½ jam tidak akan cukup.  

Tidak ada yang meragukan keahlian Pak Kiki dalam menceritakan masalah Ilmu Hubungan Internasional. Dia juga sangat suka berbicara tentang Politik di Indonesia dan Politik Luar Negeri Cina. Sekarang dia sudah semakin ahli dengan studinya di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) yang merupakan hasil kerja sama antara UGM, UIN Sunan Kalijaga, dan Universitas Kristen Duta Wacana. “Mau tidak mau, Agama dan Politik memang tidak bisa dilepaskan. Untuk urusan domestik, dan juga internasional,” begitu kata Pak Kiki. 

Pak Kiki, yang nama aslinya adalah Hikmatul Akbar, bisa bercerita panjang lebar kalau topiknya agama. Apalagi bila terkait Cina, Amerika Latin, dan Budaya Indonesia. Bawa-bawa politik Indonesia? Tambah seru! Memang dulunya, beliau ini ahli studi perbandingan politik. Tapi coba lihat fokus penelitiannya sekarang: Framing. Iya, Framing. Seperti kalau kita mengatur orang harus berpikir apa, kepada siapa, kapan, dan bagaimana. Politics and Religious Idea in fact is a result of framing. 

Meskipun agak terlambat, Pak Kiki menyelesaikan Studi Doktoralnya pada bulan September kemarin. Disertasinya berjudul “Islamic Narratives as Framing: a Study on Islamic Radical Movements in Indonesia 2012 – 2021,” cukup tebal, sekitar 235 halaman. Akan semakin asik bila kita bisa terlibat dalam diskusi tentangnya. Eniwei, Disertasinya Pak Kiki memang dibuat dalam Bahasa Inggris. Secara ICRS, yang di UGM disebut Inter-Religious Study, adalah International PhD Program, seperti IUP untuk  anak S1, tapi ini untuk S3. 

Mantap juga tempat kuliah S3 nya Pak Kiki ini! Kami jadi ikut proud dan ikut mau lancar berbahasa Inggris. Selamat atas pencapaiannya ya Pak! Semoga selalu sehat dan sukses. Seperti katanya Ebiet G. Ade waktu Bapak masih muda dulu: “Izinkanlah aku kenang. Sejenak Perjalanan.”[1] Ayo Pak. Cerita Lagi. 


[1] Elegi Esok Pagi, Ebiet G. Ade. Sekarang dinyanyikan lagi oleh Ariel dan Lyodra. 

Bagikan